Desa Adat Sesandan - Seltim
MONOGRAFI DESA ADAT SESANDAN
SELAYANG PANDANG DESA ADAT SESANDAN.
Umum
Desa Adat Sesandan terletak di Desa Megati, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, dengan batas-batas ; di sebelah Utara Sisi Kelod Desa Adat Kemetug, Timur Sisi Kauh Pangkung bunuhan, di sebelah selatan Sisi Kaja Desa Adat Jelijih, di sebelah barat Sisi Kangin Tukad Unun dan didukung oleh 2 (dua) dusun/desa dinas yaitu : (1) Dusun Sesandan Kangin dan (2) Dusun Sesandan Kauh. Terdiri dari 121 KK, semua warganya memeluk agama Hindu dan sebagian besar (75%) bermatapencarian sebagai petani baik petani padi ataupun perkebunan kelapa dan kakao disamping peternakan seperti sapi, babi, ayam buras/ayam kampung, 15% sebagai pegawai/karyawan, 5% sebagai profesi/buruh dan 5% sebagai wirausaha.
Dengan topografi wilayah berada di ketinggian 400 – 600 meter diatas permukaan air laut dengan nuansa alam yang masih asri dan sejuk berupa hamparan sawah dengan teraseringnya sebagai kekayaan alam flora & fauna, serta masyarakatnya yang sangat ramah tamah, itu adalah “Heritage” nya desa Adat Sesandan. Akses menuju desapun tidak terlalu sulit dengan kondisi jalan yang baik (dihotmix) dengan jarak tempuh ; 40 km dari Kota Denpasar, 18 km dari kota kabupaten Tabanan, 5 km dari kota kecamatan Selemadeng Timur.
Seiring dengan perkembangan pariwisata nastional, terlebih-lebih Bali merukakan salah satu Daerah Tujuan Wisata utama dunia, dimana Bali adalah pusatnya pariwisata nasional bagian tengah. Artinya Bali sangat mengunggulkan pariwisata, karena income terbesar Bali adalah dari sector pariwisata, dan dilain sisi kebanyakan tamu-tamu manca Negara lebih mengenal Bali daripada Negara kita Indonesia, maka sampai-sampai orang-orang luar bertanya dimananya Bali dari Indonesia. Oleh karena itu bagaimana caranya agar kita mampu mempertahankan budaya Bali, adat istiadat, serta mempertahankan pertanian, perkebunan, dan alam Bali yang tidak terlalu banyak diekploitasi oleh tangan-tangan kita, inilah hal-hal yang perlu kita ingat sehingga pariwisata kita bisa bertahan selamanya yang merupakan warisan nantinya kepada anak-anak cucu kita.
Kami desa Adat Sesandan tak kalah dengan desa-desa lain di Bali, kita punya sawah yang indah, ladang yang subur, pemandangan pegunungan, pemandangan laut, tempat menikmati terbitnya matahari ( sunrise ), tempat menikmati terbenamnya matahari ( sunset ), dan juga potensi-potensi lainnya yang tak kalah dengan desa lainnya di pulau dewata ini ataupun di Nusantara ini. Kami tak mau ketinggalan untuk merebut nikmat dari pariwisata tersebut dengan mengedepankan eco-Tourism sebagai unggulan. Fasilitas wisata seperti Homestay, hiking track, atraksi wisata (metekap, seni lokal), yoga retret, paddies farming sudah tersedia, yang digagas dengan sistem kerakyatan, dari, oleh dan untuk masyarakat setempat, tentu tanpa mengesampingkan peran Pemerintah sebagai fasilitator dan regulasi, serta peran swasta/pengusaha yang memiliki jejaring dan modal dan hal-hal lain yang dapat memikat datangnya tamu/toris datang dan tinggal serta betah berada di desa kami untuk berlibur
ASAL-USUL
Mengingat minimnya informasi terlebih-lebih belum ditemukannya peninggalan-peninggalan sejarah/prasasti sebagai sumber sejarah, maka asal-usul desa pekraman Sesandan (sesuai dengan ceritra para tetua kami) adalah bahwa, “………duk nguni jaman enteg Belanda……..(kisaran tahun 1873-an) datanglah para tetua kami yang terbagi dalam beberapa gelombang/kelompok untuk merambah hutan tentu atas seijin dari ( tabe pakulun) raja sebelum Ida I Gusti Ngurah Agung yang bertahta di Tabanan (1903-1916), untuk dijadikan lahan pertanian. Kelompok tetua kami tersebut datang dari beberapa desa asal dan mereka membentuk sebuah perkampungan. Kelompok-kelompok tetua ini datang atas seijin Dane Dewa Aji Gurun Gerudug yang griyanya/tempat tinggalnya adalah di Griya Batan Bayur Megati Kaja. Dimana beliau Dewa Aji Gurun Grudug sangat dekat dengan raja Tabanan waktu itu yaitu raja sebelum Ida Cokorda Ngurah Agung, sehingga beliau diberi mandat untuk merabas alas di kawasan Manikyang ( Manik Ilang ), bukuh dan Sesandan, dan Tamannya raja waktu itu adalah di Aseman ( wilayah Manikyang ) dan tempat ini dibangun Pura Luwur Aseman, dimana subak yang ada dari kawasan itu sampai kepantai diberi nama subak aseman, mulai dari subak Aseman 1 sampai subak Aseman 17.
Nama Sesandan sebenarnya berasal dari kata “ Sebuana Sandi “ yaitu suatu alas/hutan yang tenget/madurgama/angker.Yang secara etimologi berasal dari kata “sebuana” (bhs. Bali) yang artinya alas/hutan, “ sandi “ ( bhs.Bali ) yang artinya madurgama/tenget/keramat. Lama kelamaan dibilang “ sebuana sandi “ agar lebih cepat mengucapkan dibilang “ sesandi “ , akhirnya kata sesandi kesandiang menjadilah kata “ Sesandan “ , sama halnya dengan kata “ meg gati padange “ juga kesandiang menjadilah kata “ Megati “, sama juga halnya dengan kata “ pejah taen “ kesandiang menjadi “ Pejaten “, sama juga halnya dengan kata “ kalo tiing “ kesandiang menjadi “ Kelating “ dan sebagainya.
Kalau dibilang tenget/ keramat yang memang betul; suatu contoh di areal Pura Kangin ada hutan yang tidak boleh ditebang pohonnya sembarangan, kalau hal ini dilakukan aka ada musibah, disamping itu tidak boleh ada hiburan yang ada unsur ngerunying/metebekan ( dalam cerita Calon Arang ), kalau hal ini dilakukan ya ada musibah. Dan sangat menarik adalah adanya cerita Pangkung Bunuhan yang sebagai batas timur Sesandan. Namanya saja pangkung Bunuhan artinya ditempat itu dulu pernah ada tragedy pembunuhan, tapi bukan membunuh manusia tapi konon yang dibunuh mahluk tidak kasat mata/mahluk halus.
Certita pangkung Bunuhan itu sudah ada sebelum tetua-tetua kami datang ke tempat ini, kisahnya adalah “ jaman dulu sebelum tetua-tetua kami datang sebenarnya di daerah ini sudah pernah ada penduduknya, dikisahkan salah seorang penduduk mencari ikan dengan menggunakan sawu/jaring, akhirnya dungkinya/tempat ikan cepat penuh berisi ikan namun tidak lama ikannya hilang, maka bicaralah orang itu “ barengin ngalih be, yen bo maan ajaka dum ( mari sama-sam cari ikan nanti hasilnya kita bagi ), akhirnya cepat dapat ikan dan tempat ikan penuh….,akhirnya mereka membagi ikan menjadi dua, begitu diperkirakan mahluk halus itu ngambil ikan maka ditebaslah dengan menggunakan parang panjang / gegawan ( bhs.Bali ) dan diperkirakan mahluk halus itu meninggal, akhirnya penduduk yang nyari ikan itu pulang dengan membawa semua ikan. Pada malam harinya didengarlah oleh penduduk suara yang rame dan juga bunyi kaki kuda tapi tidak ada orangnya dan menanyakan siapa yang nyari ikan tadi sore. Satupun penduduk tidak ada yang berani keluar apalagi membilang tentang yang mencari ikan itu. Besok malamnya sama kejadiannya suara sangat rame menanyakan yang mencari ikan, juga penduduk ketakutan tidak ada yang berani keluar rumah. Singkat cerita akhirnya terjadi musibah penyakit dan satu persatu penduduk itu meninggal dunia/terjadi gerubug ( bhs.Bali artinya banyak yang meninggal karena penyakit ). Akhirnya yang masih tersisa meninggalkan desa ini dan arah pergi mereka adalah arah timur laut, diperkirakan desa yang dituju itu adalah Sandan Amplas yang dekat dengan desa Wangaya Gede, artinya mereka amples/tak tersisa dari wilayah Sesandan ini, itulah kisahnya sehingga pangkung itu disebut pangkung Bunuhan “. Setelah habisnya penduduk itu meninggalkan wilayah ini….akhirnya wilayah ini kembali menjadi hutan belantara. Setelah sudah menjadi hutan kembali barulah tetua-tetua kami datang seperti cerita diatas.
Karena demikian di ceritakan, “dahulu sebelum para tetua kami punya penghidupan tetap di wilayah yang baru (desa pekraman Sesandan sekarang), mereka membangun pondok untuk tempat tinggal mereka di daerah ini. Kemudian barulah mereka merambah hutan untuk lahan pertaniaan dan perkebunan.
Seiring dengan perjalanan waktu dan lahan pertanian sebagai sumber penghidupan sudah mulai menghasilkan maka merekapun mulai memikirkan untuk membentuk pelemahan desa tempat tinggal untuk selamanya. Diawali dari niat sungguh-sungguh dan dikerjakan perlahan secara gotong royang para tetua kami akhirnya berhasil merealisasikan cita-cita mulyanya untuk membuat desa yang tetap berkonsep pada filsafat Tri Hita Karana yaitu : Parhyangan – dengan dibangunnya Kahyangan Tiga dan pura-pura lain yang terkait sebagai wujud bhakti dan paramasuksma/syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhiwasa, Pawongan – sebagai tempat tinggalnya dan Pelemahan – yang berupa lahan pertanian berupa hamparan sawah dengan sistim subak dan tegalan. Disamping itu tidak melupakan konsep Luan/hulu dan Teben/hilir, dimana pura dibangun di luan/hulu dan Setra/kuburan di bangun di teben/hilir.
Namun ada yang unik di desa Adat Sesandan khususnya (di kabupaten Tabanan pada umumnya) yaitu pada sisi Pawongan, dimana konsep Luan/hulu, disamping berpedoman pada arah Gunung dan terbitnya matahari sebagai Luan/hulu, ternyata Rurung/Jalan juga di pakai pedoman sebagai Luan/hulu (di-malu/di-hulu), khususnya keberadaan merajan/sanggah keluarga, sebagai contoh jika keberdaan rumahnya berada di sebelah timur jalan, maka keberadaan sanggah/merajan ada pada posisi di sebelah Barat Laut mengingat jalan adalah hulunya. Dan jika rumahnya ada di sebelah utara jalan maka keberadaan sanggah/merajan berada di posisi tenggara. Sedangkan di daerah lain di Bali umumnya keberadaan sanggah/merajan keluarga berada pada posisi arah gunung/dan terbitnya matahari.
I. TABEL
NO | (A) Data Umum | Keterangan |
1 | Luas wilayah | 170.040 m2 |
2 | Batas – Batas Utara Timur Selatan Barat |
Sisi Kelod Desa Adat Kemetug Sisi Kauh Pangkung Bunuhan Sisi Kaja Desa Adat Jelijih Sisi Kangin Tukad Unun |
3 | Orbitrasi (Jarak dari pusat pemerintahah) : Dari Pusat Pemerintahan Kelurahan/Desa Dari Pusat Pemerintahan Kecamatan Dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Dari Pusat Pemerintahan Provinsi |
5 Km 5 Km 18 km 40 km |
4 | Jumlah Penduduk ; Laki – laki Perempuan Usia 0 – 15 th Usia 15 – 65 th Usia 65 th keatas |
240 Orang 237 Orang 85 Orang 278 Orang 114 Orang |
5 | Mayoritas Pekerjaan | Petani |
6 | Tingkat Pendidikan Maryarakat Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar SMP SMA/.SMU/SMK Akademi/D1-D3 Sarjana Pasca Sarjana |
10 Orang 93 Orang 33 Orang 71 Orang 7 Orang 47 Orang 1 Orang |
7 | Lulusan Pendidikan Khusus Sekolah Luar Biasa Kursus Ketrampilan Tidak Lulus/Tidak Sekolah |
1 Orang 0 Orang 215 Orang |
8 | Jumlah Penduduk Miskin | 32 Orang |
9 | Sarana Prasarana Sekretarian Desa Adat Pura/Tempat Ibadah
Prasarana Umum Kesenian/Budaya |
Ada 1 Permanen 6 buah Pura Khayangan Desa (Puseh, Bale Agung, Dalem, Prajapati, Kawitan Desa, Pura Kangin ) 1 Balai Desa/pertemuan 1 Set Gamelan, Geguntangan, Angklung Adat Istiadat
|
NO NO | (B) DATA PERSONIL | KETERANGAN |
10
| Nama Bendesa Adat Nama Petengen/Sekretaris Nama Bendahara Jumlah Perangkat Desa Adat Jumlah Pecalang/Anggota Bankamda | I Gede Sukarya I Putu Yogiartha I Nyoman Adiastawa 10 Orang Pecalang 6 / Bankamda 11 orang |
11 | (C) ORGANISASI MASYARAKAT ADAT 1. PAKIS ( Paiketan Krama Istri) 2. Yowana 3. Subak (basah/persawahan) 4. Subak (kering/Perkebunan) 5. Seka Gong Lanang 6. Seka Gong Istri 7. Seka Angklung 8.Seka Gong Alit/Yowana 9.Seka Santhi 10. POKDARWIS 11. Paiketan Pemangku 12. Paiketan Serati 13. Paiketan Krama Werdha/Lansia
|
|
12 | (D) BHAGA UTSAHA MILIK DESA ADAT 1. Jasa Angkutas Wisata 2.
|
|
13 | ( E) LEMBAGA KEUANGAN DESA 1.LPD (Laba Pacingkem Desa Adat)
|
|